Apa Pentingnya Bertanya Suku dan Permintaan Foto Keluarga di Sekolah?

Sudah lama aku ingin menuliskan sekilas dari unek-unek yang ada dalam benakku ini, hanya saja baru menemukan waktu yang tepat.

Kurikulum Sekolah
Ilustrasi (judul).
Desain Gambar: Pribadi

Setelah beberapa kali anak-anak dan para ponakkanku bertanya mengenai apa suku bangsa mereka untuk bertukar informasi dengan kawan-kawan sekelasnya karena mendapat tugas dari guru mereka, suatu waktu, mereka malah diminta untuk membawa foto keluarga atau sekedar menggambar bahkan mencetak poster yang menggambarkan potret anggota keluarga mereka masing-masing.

Padahal, tidak semua anak lahir dengan beruntung, sempurna asal usulnya, serta memiliki keluarga yang utuh di dalam rumah tangga.

Begitulah, suatu saat ponakkan perempuanku yang duduk di kelas 4 SD meminta dengan khusus kepadaku, "Aunty, carikan Aylin gambar keluarga di google ya, trus print-kan, karena besok Aylin disuruh bawa foto keluarga ke sekolah. Kalau tidak ada, boleh bawa gambar dari google saja."

Sedih banget nggak sih dengarnya, jadi aku pun berusaha keras mencarikannya foto keluarga yang asli dari file hardisk yang aku miliki, namun sia-sia.

Foto keluarga kokonya masih mudah ditemukan, namun foto keluarganya sendiri sama sekali tidak kutemukan karena papa dan mamanya sudah berpisah sejak dia masih bayi.

Sementara dalam perpisahan itu, kedua orang tuanya benar-benar sudah seperti 'kucing dan tikus', jadi tak ada moment untuk semuanya berfoto bareng pasca putusan perceraian oleh pengadilan. Apalagi setelah bercerai mama mereka langsung pulang kembali ke Samarinda, sementara anak-anaknya diserahkan kepada kedua orang tuaku untuk dirawat.

Berbeda dengan Aisyah, anak sulungku yang juga kelas 4 SD. Aku dan Daddynya berpisah ketika dia sudah berusia 5 tahun, sedangkan adiknya saat itu baru berusia 10 bulan, sehingga masih banyak foto keluarganya yang bisa aku temukan. Bahkan pasca berpisah pun, dalam moment ulang tahun anak kami, ada beberapa kali kami berfoto sekeluarga juga, semata-mata menyingkirkan ego demi anak-anak memiliki foto keluarga lengkap.

Akhirnya aku print-kan Aisyah foto kami sekeluarga pada moment ulang tahunnya yang ke 8, karena pada saat itu adiknya juga tampak dalam foto, sementara Aylin, aku desainkan secara khusus melalui canva fotonya sekeluarga yang benar-benar menyerupai dirinya sekeluarga, agar sedikit berbeda dari yang lainnya.

Sebenarnya aku sempat menawarkan dia, "Aylin kan tinggalnya sama Aunty, Mami dan JiPi, kenapa nggak kasih ke guru foto kita saja yang serumah ini?"

Aylin memanggil neneknya dengan sebutan 'mami' juga sepertiku, karena sejak bayi memang sudah dirawat oleh mamiku, sementara kakeknya dia panggil dengan sebutan GrandPa (disingkat menjadi GP alias JiPi).

Sayangnya Aylin menolak, dia tetap mau potret keluarga yang sesungguhnya yaitu papa, mama, kokonya dan dirinya sendiri.

Keluarga
Ini foto keluarga yang aku buatkan untuk Aylin. Kebetulan cocok sekali, Aylin dan papanya berkulit agak gelap, sementara koko dan mamanya berkulit lebih terang.
Desain Foto: Pribadi
Masalah foto keluarga ini terjadi setelah sebelumnya aku kerepotan menjelaskan soal suku mereka, karena mereka mendapatkan tugas dari guru mereka (tentunya berpacu pada kurikulum saat ini) untuk bertukar informasi mengenai suku mereka dengan teman-temannya.

Lagi-lagi ponakkan perempuanku yang kelas 4 SD itu (sepantaran dengan Aisyah) bertanya mengenai apa sukunya, padahal untuk menjelaskan dia suku apa, cukup membuat kami kesulitan.

Anak-anak dan keponakkan-keponakkanku sudah bercampur aduk sukunya. Bukan hanya itu, papanya keponakkanku yang orang lain ketahui merupakan adikku, bersuku Jawa, sedangkan aku dan kedua orang tuaku, sama sekali tak memiliki darah Jawa.

Ya, karena papanya mereka, kami adopsi ketika masih berusia 15 hari. Bagaimana coba mau menjelaskan hal itu kepada mereka?

Akhirnya aku hanya mengambil suku dari mamanya saja untuk dia laporkan kepada gurunya. Syukurlah dia tak bertanya lebih seperti, "Mengapa tak tertulis ada suku Tionghoanya?" (Mengingat papaku berdarah Cina).

Sebenarnya pernah nggak ya penyusun kurikulum sekolah ini berpikir jauh hingga ke sana?

Tidak semua anak loh yang terlahir sempurna dengan orang tua yang lengkap ataupun dengan asal usul yang jelas.

Banyak anak yang terlahir tanpa ayah, ada juga anak-anak yang sama sekali tidak memiliki orang tua, bahkan ada anak-anak yang dibuang oleh orang tuanya.

Kebayang nggak sih saat mereka ditanya sukunya? Itu kan seperti menanyakan asal usul mereka. Apalagi ketika dimintai foto keluarga. Itu kan seperti membuka luka yang sudah berusaha mereka tutupi.

Jadi ini semacam surat terbuka untuk menteri pendidikan deh, kurikulum sekolah sepertinya perlu ditelaah lagi. Guru kan berpacu pada buku yang sudah disusun berdasarkan kurikulum yang sedang diberlakukan, so, yang butuh dikoreksi sepertinya kurikulumnya.

Semoga pada tahun ajaran baru nanti, sudah tidak ada lagi pertanyaan atau permintaan 'nyeleneh' seperti itu.

Kenapa bisa aku katakan 'nyeleneh'? Karena hal tersebut sama sekali tidak penting. Cukup ajarkan anak-anak saja bahwa kita semua berbeda ras dan agama, namun semuanya adalah anak Indonesia.

Kalau sebelumnya sempat diprotes soal kolom agama di KTP, aku sedikit berbeda, aku justru mau protes soal pertanyaan suku kepada anak-anak murid di sekolah.

Agama penting diketahui oleh setiap orang untuk membesarkan rasa toleransi, sementara suku seseorang tak perlu diketahui oleh orang lain, apalagi secara khusus meminta anak-anak bertukar informasi mengenai suku mereka dengan kawan-kawannya.

Bukannya cukup dengan anak-anak mengetahui tentang ragam suku dan budaya yang ada di Indonesia, lalu untuk membesarkan rasa persatuannya, ya cukup dengan mereka tahu bahwa kita bertanah air satu yaitu Indonesia, berbangsa satu yaitu Indonesia, dan berbahasa satu yaitu Indonesia.

Komentar