Jangan Terlalu Lebay Menceritakan Kekurangan Anak ke Orang Lain, Bun!

Orang tua Ghibahin Anak
Ilustrasi Orang Tua ghibahin anak.
Desain Foto: Pribadi
Pemilu lalu aku pergi ke TPS terdaftar untuk melakukan pencoblosan. Kebetulan aku sudah tidak tinggal di sana, rumah kami yang di situ ditunggui oleh adikku, sementara aku dan kedua orang tuaku menempati rumah yang baru sudah sekitar 10 tahun lamanya.

Berhubung Kartu Keluargaku masih menyangkut di alamat lama dan aku belum melakukan pelaporan untuk pindah tempat memilih, jadi aku tetap harus pergi ke TPS terdaftar untuk melakukan pencoblosan. Padahal saat itu aku bertugas sebagai petugas KPPS di alamat baru loh.

Nah, pada saat aku pergi ke TPS terdaftar, aku pun bertemu beberapa orang tetangga lamaku, sehingga terjadilah perbincangan singkat di antara kami.

"Loh Nis, sama siapa ke sini?" Tanya seorang ibu yang kupanggil dengan 'bude' itu.

Bude itu adalah panggilan tante untuk orang yang usianya lebih tua daripada ibu kita sendiri. Kebetulan beliau orang Jawa.

Aku pun tersenyum dan menjawab, "Bawa motor sendiri, Bude, tadinya mau barengan sama mami dan papa, tapi Anis buru-buru karena harus jaga TPS di sana."

Mendengar hal itu, si bude langsung terlihat 'surprise' dan berkata, "Loh Anis sudah bisa bawa motor sendiri ya sekarang? Hebat ya?"

Aku tak kalah terkejut mendengar respon dari bude, sehingga balas menimpali, "Anis kan sudah bawa motor sejak masih kuliah bude, trus pas kerja di Balikpapan Anis juga berangkat kerja pakai sepeda motor."

Tapi sepertinya bude tak terlalu fokus dengan perkataanku sehingga masih terus tertakjub-takjub, "Iya-lah Nis, harus berani sekarang ini, kasihan juga papa sudah tua."

Hmm, mendadak aku teringat kalau orang tuaku, terutama mamiku, selalu lebay kalau menceritakan tentang aku ke orang lain. Sayangnya yang beliau ceritakan bukan kelebihaanku, melainkan kelemahan atau kekuranganku.

Contohnya seperti, "Iya, Anis ini kan sudah gede gini masih diantar kemana-mana sama papanya. Tau nih, papanya sudah tua masih jadi tukang antar jemput dia."

Entahlah, apakah itu cerita yang sangat membanggakan bagi beliau, karena beliau bercerita dengan sangat ringan.

Padahal cerita yang sebenarnya adalah seperti ini.

Ketika itu aku kerja di XL Center Balikpapan yang lokasinya berada di daerah Klandasan, setiap hari pulang jam 4 sore kalau kena shift 1 dan jam 8 malam kalau kena shift 2.

Awal-awal kerja, aku pergi dan pulang kerja pakai sepeda motor satu-satunya yang kami miliki. Maklum, ekonomi keluargaku sempat jatuh akibat krisis moneter yang sempat melanda Indonesia, sehingga kami hanya punya satu kendaraan.

Itu pun sepeda motor yang aku bawa sepulang kuliah di Bali.

Jadi dulu waktu aku kuliah ke Bali, kami masih ada satu-satunya mobil yang tersisa. Sepulangnya dari Bali, mobil itu dijual untuk membuka warung makan, sehingga tersisa sepeda motor yang kupakai selama kuliah dulu.

Nah selama aku kerja pakai motor, maka sepeda motor itu akan sangat menganggur di parkiran ruko bandar Klandasan sampai jam 4 sore, bahkan jam setengah 5 sore sepulangnya aku kerja. Sementara jika papa yang antar aku kerja, maka sepeda motor itu tidak akan senganggur itu selama kurang lebih 8 jam, karena papa dan mami masih bisa memanfaatkannya untuk kegiatan mobilitas lainnya.

Akhirnya atas kesepakatan bersama, ya solusinya adalah papa mengantar jemputku kerja saja, begitupun ketika aku sudah kerja di bank (BII Maybank A Yani) yang jaraknya lebih dekat lagi dari rumahku.

Ya memang benar sih kalau dibilang juga bahwa papa yang dulu mengantar jemputku pergi dan pulang kerja, tapi bukan karena aku semanja itu, atau aku tidak bisa bawa motor sendiri, melainkan ada alasan lain yang lebih jelas. Namun entahlah, perkataan ringan yang keluar dari bibir mamiku selalu seperti itu, seolah mengumbar kemanjaanku dan membesarkan jasa papa atas kemanjaanku tersebut adalah kebanggaan tersendiri bagi beliau.

Aib Terbongkar
Ilustrasi wanita yang malu ketika mengingat banyak orang mengetahui kekurangannya.
Desain Gambar: Pribadi

Masih kuingat jelas juga ketika beliau bercerita kepada orang yang lain lagi. Saat itu aku masih remaja 'anak baru gede', mungkin sekitar SMP atau SMA saja.

"Anis kalau cuci piring, basah semua dapur, banjir, makanya lebih baik aku yang cuci piring."

Kebayang nggak sih, walau beliau bercerita sambil tertawa-tawa bercanda, tapi hal itu membuat aku lebih baik mundur teratur dari kegiatan mencuci piring.

Di lain waktu lagi, beliau menertawakan kebodohanku yang lain lagi kepada kerabat dekat.

Kala itu kami sedang memotong bawang bersama-sama dan aku yang juga masih usia remaja bertanya, "Ini bawang kok kulitnya nggak habis-habis ya?"

Memang lucu sih, tapi ketika ditertawakan di depan semua orang, aku kok merasa seperti orang yang bodoh sekali ya?

Sayang ketika itu Nia Ramadani dan Livy Renata yang 'bodoh' dalam segala hal termasuk dalam hal mengupas salak atau mengepel ruangan belum viral. Kalau nggak kan saat itu aku nggak merasa begitu bodohnya.

Akibatnya, karena beliau terlalu sering tertawa di atas kebodohanku, aku pun tidak ingin membuat beliau terlalu senang.

Pernah suatu waktu saat aku sedang menonton tayangan belajar Bahasa Inggris, 'Sesame Street', beliau melintas dan berkata kepadaku, "Nah, bagus kalau sering-sering nonton itu, Nis."

Seketika saat itu juga aku mematikan televisi dan tidak pernah mau menontonnya lagi.

So, jangan terlalu lebay menceritakan tentang anak-anak kita kepada orang lain yaaa, Bun, apalagi mengenai kekurangan mereka, karena mungkin bagi kita menarik dan lucu, tapi bagi diri si anak itu sendiri, pastilah luka yang tidak bisa disembuhkan.

Tahu nggak sih Bun, kalau aku tidak kuliah jauh dari orang tua, mungkin sampai hari ini aku masih tidak bisa masak, karena aku baru benar-benar belajar masak ketika sudah ngekos sendiri dan jauh dari orang tua.

Pokoknya selama berada di rantau, barulah aku banyak belajar mengenai kehidupan ini, terutama belajar masak dan belajar mengendarai sepeda motor.

Soalnya kalau dekat sama orang tua, mau belajar pun takut karena mereka terlalu banyak berkomentar mengenai hal-hal yang belum aku ketahui, sehingga mengakibatkan aku malas sekali belajar hal-hal baru.

Tidak bermaksud apapun, hanya sekedar berbagi.

Jadikan saja pengalamanku ini sebagai pembelajaran dalam mengasuh anak-anak di rumah ya Bun.



Komentar