Jaman dulu mungkin kita kurang care dengan tumbuh kembang anak secara spesifik apalagi jika mengandung istilah-istilah seperti ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) maupun ASD (Autism Spectrum Disorder).
![]() |
Sumber Foto: Pribadi |
Sebagian besar masyarakat jaman dulu hanya mengenal istilah anak seribu rupa yang kini sudah banyak pula yang mengenalnya dengan istilah Down Syndrome, namun tetap disalah-kaprahi dengan menyebut anak-anak istimewa yang mengalami sindrom tersebut sebagai 'idiot' sejak dahulu kala.
Padahal anak-anak Down Syndrome belum tentu idiot, meski sama-sama termasuk dalam klasifikasi Tuna Grahita.
Dikatakan idiot jika kemampuan berpikir seseorang sangatlah lemah, yaitu memiliki IQ di bawah 20, sedangkan anak-anak dengan kondisi Down Syndrome memiliki range kemampuan berpikir atau IQ antara 40 hingga 55.
Orang tua Jaman Dulu Be Like "Ah itu Biasa"
Ketika orang tua konservatif (bahasa umumnya 'kolot') melihat perkembangan seorang anak yang sedikit terlambat, misalnya saja usia satu tahun belum bisa berdiri, mereka hanya akan berkata, "Ah, nanti bisa sendiri."
Begitupun ketika anak usia 2 tahun hanya diam, belum bisa berbicara sama sekali, atau bisa berbicara (mengeluarkan suara) namun sekedar bubbling maupun seperti burung berkicau dan berteriak, lagi-lagi mereka hanya menganggap bahwa itu hal yang biasa, karena "nanti bisa sendiri".
Padahal, saat seorang anak melewati moment berkembang sesuai usianya, maka dia sudah tertinggal selangkah daripada anak-anak seusia mereka lainnya.
![]() |
Ke dokter bukan kalau sakit saja, melainkan untuk screening perilaku anak juga. Sumber Foto: Pribadi |
Ini yang membuat aku sedikit menyesal sebagai ibu baru yang kini memiliki anak berusia 10 tahunan dan 6 tahunan.
Anak sulungku baru mulai belajar berjalan di usia 14 bulan, begitupun dengan si bungsu, kemudian mereka berdua sama-sama baru bisa berbicara pada usia menjelang 3 tahun (si sulung duluan), namun si sulung memang pada awalnya bubbling, sedangkan si bungsu diam saja (tidak mengeluarkan suara sama sekali).
Kata orang tuaku, itu biasa, karena aku pun dulu baru bisa berjalan di usia 14 bulan dan hal yang mereka upayakan sebelumnya adalah meminta para jamaah solat jumat untuk memukulkan lembut sejadah yang mereka pakai solat ke kepalaku sebagai ikhtiar agar aku bisa segera jalan.
Yah, namanya saja kejadian di masa lampau, tahun 80an.
Memang ada-ada saja yang orang-orang jaman dulu lakukan, seringkali tidak masuk akal namun tetap juga dilaksanakan.
Hikmah dibalik Orang-orang Reseh
Aku mulai peduli terhadap tumbuh kembang anakku karena masukan-masukan tak disengaja oleh orang-orang di sekelilingku dan sekeliling anak bungsuku.
Kalau pada masa si sulung dulu, aku tidak begitu memusingkannya karena anak sulungku itu dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, fokusnya baik dan jauh lebih penurut alias mau mengikuti perintahku dengan sangat baik (patuh), berbeda dengan si bungsu yang seringkali membuat tekanan darah maminya ini naik setiap waktunya belajar di rumah.
Masukan-masukan tak disengaja mengenai si bungsu oleh orang-orang sekitar kami yang pertama adalah keluhan-keluhan dari wali kelasnya dulu, hampir tiap hari ada keluhan mengenai si bungsu.
Di kelasnya, si bungsu juga mendapat tekanan keras untuk bisa disiplin dan mengikuti pola ajar sant guru. Kebetulan gurunya tipe yang kaku juga. Hal itu membuat aku memindahkan anakku ke sekolah lain.
Baca juga:
Anakku Pindah Sekolah di Kelas 1 Semester 2
Kemudian keluhan dari guru les semi private-nya. Kalau guru lesnya ini terus terang mengatakan perihal 'tumbuh kembang' dan sempat membuat aku sedikit kesal juga, karena anakku normal tapi kok terkesan nggak normal.
Lalu pas ada acara pesantren kilat di masjid dekat rumah, aku mendapat masukan dari kawan akrabku juga berdasarkan pengalaman kakaknya yang melakukan terapi pada anaknya yang ciri-cirinya persis sekali seperti anak bungsuku.
Dan yang terakhir adalah dari diriku sendiri yang memang merasa kesulitan juga untuk mengatasi fokus atau konsentrasinya si bungsu. Dia mudah terdistraksi oleh lingkungan sekitarnya. Syukurnya aku cukup sabar menghadapi dia.
Batas Kesabaranku
Ketika kecil dulu, aku sangat kenyang oleh pukulan dari orang tuaku setiap mereka gemes dan kesal karena menganggapku bodoh dan tidak patuh, hahahaaa. Setiap anak era milenial dan sebelumnya pasti banyak yang merasakan hal ini juga.
Baik itu pendeng (ikat pinggang), hanger (gantungan baju), penggaris, sapu, bahkan rotan, dimanfaatkan oleh orang tua jaman dulu dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak menemukan benda itu semua, maka kamar mandi gelap adalah solusinya.
Sebenarnya bukan karena aku sesabar itu. Sabar ada batasnya, tapi ya karena aku pandai memperpanjang batas kesabaranku saja, menahannya dengan setengah mati, agar si anak bisa menjadi jauh lebih baik dan agar dia tidak menganggap dirinya tidak mampu, seperti aku yang selalu merasa duluan kalau aku tidak bisa, padahal belum mencobanya.
Lagipula, aku tipikal orang tua yang peka. Jika dikerasin, justru membuat anakku tambah membangkang, ngambek dan menolak 100% untuk melakukan apa yang aku perintahkan. Jadi jalan satu-satunya ya hanya dengan mampu menahan kesabaran.
![]() |
Biarkan anak makan dan melakukan apapun sendiri walaupun hasilnya di luar ekspektasi mama. Sumber Foto: Pribadi |
Lalu aku pun memutuskan si bungsu untuk untuk screening tumbuh kembangnya, apakah sudah sesuai dengan usianya ataukah belum?
Screening dan Terapi Dimana?
Sahabatku memberikanku rekomendasi untuk berkunjung ke klinik terapi tumbuh kembang ponakkannya itu karena harga yang ditawarkan di sana jauh lebih ekonomis daripada klinik lainnya.
Aku langsung mencoba untuk melakukan kontak dengan klinik terapinya dan juga klinik lainnya.
Ya seekonomis-ekonomisnya, untuk terapi anak tidak mungkin kurang dari sejuta, karena dibutuhkan screening terlebih dahulu, beberapa kali pertemuan, serta bolak balik konsul dokter.
Lagipula anakku belum tentu butuh terapi, kenapa nggak screening-nya di tempat yang gratis dulu.
Harap maklum, bukan berarti aku tidak mau berkorban demi anak, tapi kondisiku sendiri single mom dengan dua orang anak, jadi kalau bisa gratis kenapa harus bayar?
Klinik Tumbuh Kembang
Aku pun pergi ke klinik faskes 1 BPJS-ku dimana sebelumnya aku sudah melakukan pendaftaran secara online melalui Aplikasi JKN agar tidak capek-capek menjelaskan mengenai pengalaman anakku dengan lingkungan sekitarnya karena aku sendiri pun menganggap bahwa anakku baik-baik saja alias normal.
Baca juga:
Anakku Normal tapi Didiagnosa ADHD
Sampai di dokter umum faskes 1, aku menyampaikan niatku untuk terapi anakku di klinik tumbuh kembang karena masukan-masukan tak disengaja oleh lingkungan sekitarnya.
Tapi ternyata untuk terapi di klinik tumbuh kembang, ada tahapan-tahapan yang harus aku lewati dulu, kemudian batasan tanggungan anak untuk terapi menggunakan BPJS yaitu berusia sebelum 7 tahun.
Tahapan-tahapan Anak untuk Terapi di Klinik Tumbuh Kembang
- Dokter Spesialis Anak
Dokter umum di faskes 1 hanya dapat memberikan rujukan untuk melakukan screening perilaku atau tumbuh kembang anak di dokter spesialis anak terlebih dahulu. Rumah sakit yang dituju boleh memilih, jadi pilih yang terdekat dan dokter anak yang memang sudah langganan saja.
Ketika itu dokter yang kukenal sedang cuti, sehingga aku memilih dokter lainnya yang praktek pagi juga. Entah mengapa, aku senang beraktivitas keluar rumah pada pagi hari dibandingkan sore. Pagi hari itu, kita semua masih segar bugar dan fokus penuh bukan?
Dokternya seorang wanita yang sudah cukup senior, aku menjadi lebih tenang, apalagi dia screening dengan penuh kehati-hatian.
Beliau bukan hanya mewawancaraiku sebagai orang tua, melainkan juga mewawancarai anakku dan mengamati tindak tanduknya, sambil bertindak seolah-olah sedang memeriksa si anak ini.
Setelah itu, dokter mengatakan padaku bahwa si bungsu memang perlu sedikit terapi, tapi tidak cukup dengan terapi saja mengingat usianya yang sudah 6 tahunan.
Dia butuh bantuan obat-obatan juga, sehingga selain aku mendapatkan rujukan untuk membawa anakku itu ke klinik tumbuh kembang, aku juga diberi rujukan untuk membawa anakku ke psikiater.
- Klinik Kejiwaan
Awalnya aku masih awam banget soal hubungan antara kejiwaan anak dengan tumbuh kembang anak yang terlambat, karena bayanganku sebelumnya, klinik kejiwaan itu hanya untuk orang-orang dengan kondisi down mental health maupun yang memang sakit jiwanya.
Ternyata berkaitan erat loh, dimana psikiater dapat memberikan obat dengan dosis sesuai usia anak masing-masing untuk memperbaiki syaraf otak yang menyebabkan keterlambatan tumbuh kembang mereka.
![]() |
I know it's a new thing for you Darling, but as you know, I never do anything that make you loss. Sumber Foto: Pribadi |
Pada hari yang sama aku ke dokter anak, sayangnya klinik tumbuh kembang sudah tutup pendaftaran, sehingga aku pergi untuk mendaftar di klinik kejiwaan terlebih dahulu.
Di luar ekspektasiku, dimana aku yang sempat underestimated berpikiran bahwa klinik kejiwaan mungkin merupakan poli tersepi, anakku malah mendapat antrian nomor 29.
Aku pun pulang dulu pada jam setengah 11 pagi karena jam praktek dokternya baru dimulai pada jam 11 siang, lalu pada jam 2 siang ketika aku kembali ke rumah sakit, antrian baru menjelang nomor 8.
Mungkin karena tidak biasa, aku merasa orang-orang dewasa yang mengantre di depan polinya dapat mengamuk tiba-tiba jika mendengar anakku bawel, jadilah kami mencari tempat duduk yang agak renggang dari orang lainnya.
Ternyata yang mangantre di klinik kejiwaan, fifty-fifty loh antara dewasa dan anak-anak. Ini benar-benar hal yang baru buat aku.
Jam 3 menjelang setengah 4, barulah antrian anakku dipanggil, dan begitu melihat perilaku anakku saat duduk pun, psikiatri senior tersebut langsung mengetahui permasalahannya.
Anakku termasuk dalam ADHD, cukup membuatku terkejut sehingga aku segera mencari tahu mengenai ADHD itu.
Ternyata ADHD ada 3 tipe, bahkan 4 (sementara yang aku tahu sebelumnya, anak ADHD hanyalah anak yang hiperaktif, padahal anakku bukan yang terlalu hyperactive maupun terlalu impulsive, melainkan inattentive, dimana dia mengalami masalah pada fokus dan konsentrasi belajarnya di sekolah.
Bukan berarti dia tidak kebagian hiperaktif dan impulsifnya, melainkan kebagian juga, hanya saja dalam porsi yang lebih sedikit, misalnya dalam kondisi duduk, seluruh badannya bergerak aktif, entah ada saja yang dia sentuh atau mainkan. Kemudian dapat main pukul juga ketika tersinggung dan marah.
- Farmasi
Setelah dari psikiater, kami pun mengantre di farmasi untuk mengambil obat yang telah diresepkan dokter psikiatrinya.
Obatnya itu merupakan obat racikan yang terdiri dari 3 bahan yang sebenarnya ditanggung oleh BPJS, namun sayangnya ketika itu, salah satu bahannya tidak ada sehingga aku terpaksa membeli bahan yang paten untuk melengkapinya (bahan paten tidak ditanggung sama sekali).
Kalau tidak salah ketika itu aku membayar 147rb untuk bahan yang paten itu saja. Nama obatnya adalah aripiprazole.
Nah, karena masih awam dan walau sudah membayar untuk obat ini, sesampainya di rumah, malamnya belum aku minumkan juga.
Aku masih ragu, "masa iya anakku ini ADHD diminumkan obat?"
Apalagi ketika aku searching sini sana, ternyata orang dengan gangguan kejiwaan bipolar maupun skizofernia, obatnya juga sama. Tapi kategori obatnya anti psikotropika.
Untuk menyakinkan, aku nanya lagi ke SpKJ alias dokter kejiwaan online yang praktek melalui platform Alo Dokter.
Lumayan pas diskon soalnya. Harga konsulnya yang 79rb, diskon jadi 49rb saja.
Berdasarkan psikiatri online tersebut, obat itu aman diminumkan oleh anakku yang berusia 6 tahunan karena dosis yang diberikan juga dosis rendah, yaitu hanya 1Mg.
Hari ketiga setelah berkunjung ke psikiater, barulah anakku mulai minum obat itu.
Memang awal minum anakku ada efek yang sedikit mengkhawatirkan, yaitu mimisan dan banyak sekali darahnya.
Pada dasarnya memang dulu ketika bayi dan balita memang dia sering mimisan, tapi pas minum obat, kambuh mimisannya selama 3 hari berturut-turut tapi 'keluar-berhenti' dengan tahapan pertama kali banyak, kemudian semakin berkurang.
Sampai sekarang obatnya sudah mau habis, dia nggak ada mimisan lagi.
- Klinik Tumbuh Kembang (Konsul Dokter)
Setelah mulai minum obatnya, barulah aku pergi ke rumah sakit lagi untuk mengantre di klinik tumbuh kembang anak.
Ketika aku sampai di klinik tumbuh kembang anak, ternyata banyak sekali anak istimewa di sana, yang sebagian besar kondisinya adalah ASD dan ADHD, belum pernah ketemu anak yang kondisinya Down Syndrome, atau mungkin beda lagi cara terapi dan tempat terapi anak dengan kondisi tersebut kali ya?
Di Klinik Tumbuh Kembang, anakku tidak langsung diberikan terapi, melainkan konsul dengan dokternya terlebih dahulu.
Ketika dokternya memastikan bahwa anakku memerlukan terapi, barulah dirujuk untuk terapi, dan anakku mendapatkan rujukan untuk itu.
Setelah itu, admin bagian tumbuh kembang memberi informasi mengenai cara-cara untuk melakukan terapi di RS tersebut.
Kebetulan anak yang mengantre untuk terapi ada sekitar 400 anak, sementara persesinya hanya bisa sekitar 2-3 anak, kemudian cuma ada 9 sesi dari pagi jam 8 hingga sore jam 3.
Jadi kami semua ditambahkan ke dalam sebuah grup dan untuk mendapatkan terapi adalah berebut melalui polling di grup pada jam-jam tertentu.
- Klinik Tumbuh Kembang ( Terapi)
Setelah 4 hari konsul ke dokter, barulah anakku mendapat jadual untuk terapi, sesusah itu ternyata mendapatkan jadual terapi di rumah sakit tersebut.
Bisa karena kelewatan jadual polling-nya, kalah kecepatan tangan, ataupun jaringan internet sedang tidak bersahabat.
Nah kemudian selesai 2 kali terapi, maka aku ikut polling untuk pergi konsul dokter lagi karena dokternya perlu tahu perkembangan anak sampai sejauh mana, lalu terapi lagi 2 kali dan konsul dokter lagi, begitu terus sampai akhirnya dinyatakan lulus.
Jadi selang-seling gitu, Parents. Polanya adalah 2 kali terapi + 1 kali konsul dokter.
Sementara ini anakku baru 2 kali terapi, konsul dokter, plus satu kali terapi lanjutan. Dan ini aku belum ikut polling untuk terapi kedua lagi.
Di tulisanku selanjutnya, aku bakal share tentang pengalaman terapi anakku juga yaaa? Stay tune!
Komentar
Posting Komentar