5 Tips Pola Asuh Anak Berdasarkan Pengalaman Masa Kecil

Parenting
Ciptakanlah rumah terbaik bagi anak-anak.
Sumber Gambar: Pribadi

Setiap ibu yang terlahir di dunia ini berawal dari para wanita yang dahulu juga dilahirkan oleh ibu mereka dan mengalami masa kanak-kanak, lalu remaja, sebelum beranjak dewasa.

Tentunya sebagai seorang ibu, ia sudah dapat menyelami perasaan seorang anak ketika dulu ia juga sedang menghadapi perlakuan ibundanya.

Hal itulah yang membuatku sedikit lebih bisa berpikir dan merasakan apa yang anak-anakku rasakan saat mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dariku.

Banyak ibu yang tidak memiliki pengendalian diri karena mereka tidak memahami prinsip dasar tersebut, atau bahkan pola asuh yang dulu diterapkan pada mereka oleh orang tuanya masing-masing, mereka terapkan kembali kepada anak-anak tanpa difilter sebelumnya.

Berbeda denganku yang tidak ingin menjadikan anak-anakku ajang pelampiasan balas dendam atas perlakuan orang tuaku dahulu.

Bukan berarti menyalahkan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sendiri, melainkan lebih kepada introspeksi diri yang berkaitan dengan pola asuh tersebut.

Misalnya saja aku merasa bahwa diriku ini kurang percaya diri sehingga selalu menghambat kesuksesanku dalam menjalani hidup, maka aku pun menelaah ke belakang atas pola asuh yang diterapkan oleh kedua orang tuaku dan membandingkannya dengan ilmu parenting yang banyak aku dapatkan melalui artikel-artikel di internet serta seminar langsung yang pertah aku ikuti.

Nah, di sini aku memiliki beberapa tips permasalahan pada anak yang mungkin bisa diikuti dalam menerapkan pola asuh kepada anak-anak di rumah, berdasarkan pengalaman diriku di masa kecil.

Anak Tidak Percaya Diri

Dulu aku termasuk anak dan remaja dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat rendah, bisa dibilang kalau aku mengalami krisis kepercayaan diri yang akut.

Aku tidak pandai dalam bergaul, mau mengungkapkan isi hati itu rasanya susah banget.

Sebagai seorang remaja yang menjalani kehidupan seperti itu pada awalnya, ya aku tidak tahu mengapa kepercayaan diriku bisa begitu rendahnya.

Seiring waktu, ketika telah dewasa dan ikut belajar berbagai ilmu parenting sebagai seorang ibu baru, aku menjadi paham bahwa apa yang aku alami dahulu akibat pola asuh yang kurang tepat diterapkan oleh kedua orang tuaku.

Kedua orang tuaku sangat senang menceritakan kebodohan yang aku perbuat sebagai cerita lucu di lingkungan public. Kemudian sangat suka membentakku, jika ada kesalahan yang aku perbuat walau di tempat umum sekalipun.

Selain itu, mereka sendiri juga selalu menganggap bahwa aku adalah seorang anak yang tidak bisa diandalkan, seperti bodoh di sekolah, tidak mandiri, tidak suka belajar, serta tidak bisa melakukan hal apapun yang mereka harapkan.

Bukan hanya itu, di mata mereka, anak-anak orang lain selalu lebih baik daripada anak mereka sendiri, sehingga sangat sering aku menerima perlakuan dibandingkan kecerdasan dan kualitasnya dengan anak lain.

Bahkan orang tua sering kali lebih percaya dengan apa yang dijelaskan oleh orang lain, dibandingkan oleh anak mereka sendiri, padahal isi penjelasannya sama. Sayangnya mereka lebih yakin ketika sudah dijelaskan oleh orang lain daripada saat anaknya yang menjelaskan.

Oleh karena itulah, tanpa disadari oleh mereka dan bahkan olehku sendiri, perilaku yang aku terima itu sangat mengikis rasa percaya diriku semakin hari semakin tipis, bahkan hingga tidak tersisa sama sekali.

Semoga pengalamanku soal ini bisa menjadi pembelajaran bagi sebagian Mommy di sini ya?

Anak Membangkang

Aku ingat sekali dahulu Mamiku sering mengeluh mengenai sikapku yang selalu membangkang dari mereka.

Misalnya saja seperti ketika ada acara Sesame Street di televisi, dimana saat itu aku sangat gemar menonton acara tersebut, sampai suatu saat Mamiku berkomentar, "Nah, bagus Nis kalau nonton itu, bisa pintar Bahasa Inggris."

Mendengar komentar seperti itu, aku langsung mematikan televisi, dan tidak pernah mau menonton tayangan itu lagi.

Menurut Mamiku, aku sangat suka melawan pada mereka, padahal setiap aku membantah atau melawan, layangan pukulan sudah pasti mendarat di tubuhku.

Ya pola asuh orang tua jaman dahulu agak susah mau dijauhkan dari kekerasan fisik, karena bagi mereka yang hidup di jaman dahulu, satu-satunya cara agar membuat anak menjadi takut hanyalah melalui rasa sakit yang anak-anak itu rasakan.

Jika mereka sudah merasa pukulan tak lagi efektif, maka kurungan di dalam kamar mandi gelaplah yang menjadi solusi, dimana mendengar anak-anak berteriak-teriak ketakutan dan menangis seolah menjadi hiburan tersendiri bagi sebagian orang tua di jaman dahulu.

Setelah belajar ilmu parenting, aku pun mulai berpikir dan paham dimana sikap membangkangku dulu justru menjadi-jadi karena aku merasa kedua orang tuaku sangat berbahagia jika berhasil membuatku takut dan tunduk.

Akhirnya aku selalu berusaha untuk tidak membuat orang tuaku senang atas sikapku yang baik. Aku semakin memperlihatkan perlawanan agar mereka tidak jadi bergembira.

Sama halnya ketika aku sedang mencuci piring, kemudian mamiku lewat dan memujiku, pasti aku langsung menghentikan kegiatanku saat itu juga dan tak akan pernah melakukannya lagi.

Jadi berdasarkan pengalamanku tersebut, menurutku orang tua yang terlalu keras dalam menghadapi anak, apalagi sampai menggunakan kekerasan fisik hanya untuk membuat anak-anak takut, sama sekali tidak efektif dalam mendidiknya agar menjadi lebih baik di kemudian hari.

Anak Tak Mau Mendengar Nasehat

Ketika aku masih kecil dahulu, kedua orang tuaku sering komplain, "Kenapa sih kamu tidak mau mendengarkan kata-kata kami?"

Atau, "Makanya kalau orang tua ngomong itu didengarkan!"

Tapi di lain kesempatan, saat aku sedang bercerita dengan sungguh-sungguh kepada mereka, mereka dengan mudah mengalihkan perhatian mereka pada hal lain, karena sepertinya mereka menganggap bahwa aku hanyalah anak kecil yang kata-katanya tak begitu penting untuk didengarkan dibandingkan mereka sesama orang dewasa berbicara.

Misalkan saja saat aku sedang bercerita pada mamiku, kemudian ada papaku datang dan langsung berbicara memotong di tengah-tengah ceritaku, spontan mamiku langsung menanggapi begitu saja tanpa menghiraukanku yang sedang bercerita.

Namun di lain kesempatan ketika mereka berdua sedang berbicara satu sama lain dan aku datang ke tengah-tengah untuk memotong pembicaraan, dengar hardikannya salah satu akan berkata, "Jangan memotong pembicaraan orang tua!"

Mendapat perlakuan seperti itu, aku seringkali membalas mereka seperti meninggalkan mereka ketika sedang berbicara padaku, jarang mau bercerita lagi kepada mereka, dan lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar untuk menonton televisi sambil memakan coklat kesukaanku atau curhat pada buku diari.

Anak Malas Belajar

Entah mengapa di mata orang tua jaman dulu, khususnya orang tuaku, anak orang lain selalu lebih unggul sehingga perlakuan dibanding-bandingkan dengan anaknya orang sangat sering didapati.

Apresiasi yang mereka berikan kepada anaknya sendiri sangatlah rendah, sehingga dahulu aku merasa bahwa tak ada gunanya aku melakukan hal-hal apapun untuk mengembangkan diri menjadi lebih unggul dari sebelumnya karena di mata kedua orang tuaku, aku tetap tidak lebih baik dari 'anak sebelah' (siapapun itu).

Bahkan ketika aku sudah dewasa pun, orang tuaku cenderung lebih percaya kata-kata orang lain atau anaknya orang lain dibandingkan aku, karena sepertinya dalam benak mereka, aku tetaplah 'si dungu' sejak aku kecil.

Oleh karena itu, aku berhati-hati sekali ketika mulai membandingkan anakku dengan anak orang lain, bahkan aku cenderung menyemangati anakku dengan selalu mengatakan bahwa ia jauh lebih cerdas daripada sepupu-sepupunya di rumah.

Tentunya, itu pembicaraan antara kami berdua saja di dalam kamar saat malam menjelang tidur.

Anak Tidak Bisa Menolak dan Susah Mengambil Keputusan

Dalam pergaulan, biasa saja jika terjadi penolakan, namun anak-anak yang hidup di dalam keluarga dengan orang tua berpola asuh otoriter alias terlalu dominan dalam mengambil keputusan, membuat seorang anak pun susah dalam memutuskan sesuatu atau melakukan penolakkan ketika orang lain bersikap tidak semena-mena.

Dulu aku hanya bisa menangis jika menerima perlakuan bullying dari lingkungan sekitarku. Bahkan aku terlalu takut lingkunganku atau orang-orang di sekitarku akan meninggalkanku jika aku menolak permintaan mereka.

Itu yang menyebabkan aku juga menjadi lebih cenderung menghindari masalah, dan ketika aku mencoba menolak, maka aku menjadi salah tingkah sendiri ketika bertemu orang tersebut karena merasa bahwa orang itu pasti juga akan berubah sikap kepadaku akibat penolakkan itu.

Begitupun ketika dalam suatu waktu aku harus mengambil keputusan sendiri, secara darurat alias tiba-tiba, aku akan sulit sekali memutuskan, bahkan dalam menentukan jurusan perkuliahanku dahulu, aku langsung serahkan begitu saja kepada orang tuaku.

Lagipula ketika aku mengatakan bahwa aku ingin mengambil Sastra Indonesia, kedua orang tuaku, terutama mamiku menolak, dan memintaku berpikir ulang untuk mengambil jurusan pilihannya saja, sehingga menyebabkanku pada akhirnya malah salah pilih jurusan, hehehe.

Pola Asuh
Jadilah sahabat terbaik bagi anak-anak.
Sumber Gambar: Pribadi

Sebagian besar orang tua, sejak jaman dahulu kala, mengondisikan diri sebagai orang tua dengan segala peraturan dan perintahnya yang harus selalu dipatuhi oleh anak-anak mereka hingga melupakan bahwa mereka pulalah tempat pertama anak-anak bersosialisasi, dengan kata lain bahwa mereka adalah sahabat anak-anak yang pertama.

Oleh karena itu, kondisikanlah diri menjadi sahabat terbaik mereka dengan cara tidak terlalu bersikap dominan, tidak menunjukkan keotoriterannya dalam menghadapi anak-anak sendiri, tidak terlalu menekankan bahwa kedua orang tua adalah surga bagi anak-anak sehingga anak-anak harus menomor satukan kepatuhan terhadap kedua orang tua (sementara orang tua pun manusia yang bisa saja berbuat salah), berhenti membandingkan anak-anak sendiri dengan orang lain karena seyogyanya karakteristik anak-anak dibentuk oleh orang tua mereka sendiri (sehingga kalau anak-anak sendiri dianggap bodoh, ya karena mereka memiliki orang tua yang bodoh).





Komentar

  1. thanks remindernya mba Annisa ... menjalani peran sebagai orangtua itu sejatinya harus terus belajar tiada henti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali Ibu, kita semua masih harus terus belajar menjadi orang tua dalam mengiringi perjalanan anak-anak ke depannya.

      Hapus
  2. Wah, bagus juga ya. Kalau aku ada yang ngikutin ibuku, ada yang dariku sendiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul Mbak, sejatinya kita sebagai orang tua jaman milenial gini hendaknya bisa memfilter pola asuh jaman dulu, yaitu yang baik diikuti dan yang tidak benar bisa ditinggalkan saja.

      Hapus
  3. Seneng banget bacanya krn mbak mau break the chain bahwa hal2 yang asik soal pengasuhan anak harus berhenti di situ saja. Generasi selanjutnya kalau bisa tdk seperti pola asuh masa lampau. Mungkin krn orang tua jaman dulu tdk banyak web minat, ilmu2 dr ahlinya yg lebih mudah kita akses di masa saat ini. Tetap semangat mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali Mbak, saya terus mengoreksi diri. Sebagai manusia biasa kadang juga bisa kelepasan marah kepada anak-anak, tapi karena tahu itu salah, jadinya lebih bisa mengerem diri sendiri. Kalau kurang introspeksi, bisa jadi hanya ada 'gas', tanpa 'rem'.

      Hapus

Posting Komentar