Sekedar Menikmati Layangan Putus, Bukan Untuk Mengejarnya

Annisa Tang
Tulisan ini hanyalah sekedar tulisan pembuka dan perkenalan dari saya, bagi kalian yang belum kenal.
Sumber Foto dan Desain: pribadi

Jika layangan putus memiliki Kinan sebagai tokoh yang berperan kuat dalam mengejarnya, sebelum dia merelakan layangan itu berlalu dalam hidup, berbeda dengan saya yang memiliki kisah sendiri, dimana saya bukan tipikal pemain layangan yang menikmati tarik ulur benang.

Saya lebih suka melepaskannya sejak awal, daripada berlarut dalam kehidupan saya, dan ketika pada akhirnya harus lepas juga dari genggaman, kebahagiaan saya malah ikut larut terbawa.

Apalagi jika saya sudah menyadari dari awal bahwa, walau telapak tangan menggenggam erat, bukan berarti benangnya tidak dapat putus.

Semakin erat tangan kita memegangnya, semakin kencang angin terpicu untuk membawanya pergi.

Kinan dapat berjuang mati-matian demi keutuhan rumah tangganya, namun pada akhirnya, yang mau pergi tetaplah pergi.

Kisah saya dan Kinan jauh sekali berbeda, jadi saya kurang setuju ketika ada yang menyamai kisah dalam rumah tangga saya dahulu, dengan rumah tangga Kinan bersama Aris dalam filosofi Layangan Putus tersebut.

Rumah yang Kinan bangun bersama Aris adalah rumah yang utuh, harmonis, manis, dan penuh cinta di dalamnya.

Sementara sampai sekarang pun, saya tidak tahu mengapa ayahnya anak-anak saya dulu menikahi saya? Karena sejak awal kami menikah, seorang wanita sudah berusaha mengganggu saya melalui sosial media.

Mimpi-mimpi buruk juga selalu menghiasi awal rumah tangga kami. Katanya dia dikunjungi oleh seorang wanita tua dan wanita muda berkulit putih.

Sosok yang dia gambarkan tersebut, persis dengan salah seorang tante dan nenek saya, yang ketika itu telah setahun berpulang ke pangkuan Allah. Kebetulan keduanya meninggal pada waktu dan tempat yang sama, hanya dalam hitungan hari dan berjarak beberapa meter saja dari kamar saya yang kini kami tempati.

Kebetulan dia memang pernah bercerita bahwa sepanjang hidupnya sering sekali 'dikerjai' oleh makhluk yang tak bisa dilihat oleh orang kebanyakan itu.

Sedangkan saya, bukanlah tipikal yang lemah dan rawan gangguan oleh makhluk tak kasat mata, namun sejak menikah dengannya, sempat beberapa kali saya diganggu dengan sosok anak kecil perempuan berambut pendek, yang berusia kurang lebih 5 tahun.

Bahkan anak itu memanggil saya dengan sebutan 'bunda' dan berusaha merebut boneka harimau yang sudah saya berikan kepada ponakkan lelaki saya.

Setelahnya, walau tak pernah ada gangguan lagi dalam tidur saya, namun pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai kehidupan pernikahan kami, hingga nyaris beberapa kali kami berpisah.

Saya sampai dua kali berucap kata perceraian ketika kami bertengkar hebat, tapi dia tak pernah menjawabnya, juga tak pernah merayu saya untuk berdamai.

Cara yang dia gunakan untuk berbaikan dengan saya selalu menggunakan cara yang garang dan menantang, seolah hanya gertakan belaka yang saya sampaikan padanya.

Sampai akhirnya, saya pun hamil selang 11 bulan pernikahan kami, meski itu tak merubah apapun.

Masih saya ingat dengan jelas ketika saya yang dalam keadaan hamil dan opname di rumah sakit akibat pendarahan (Placenta Previa), berada di dalam kamar VIP seorang diri, hanya bertemankan coklat susu yang dibekali oleh kedua orang tua saya.

Mata saya menatap layar televisi saat itu, sambil menggigit sedikit demi sedikit batang coklat dalam genggaman dan berderai air mata, namun saya bahkan tidak tahu cerita apa yang sedang disajikan oleh channel televisi tersebut.

Tapi syukurlah anak kami lahir dengan selamat dan berat badan yang normal, yaitu 2,8 Kg, meski dilahirkan secara prematur di usia 34-35 minggu melalui caesar darurat, tak jauh berbeda dengan kasus persalinan Lesti (istri dari Billar).

Kami pun memiliki anak pertama perempuan yang manis, sama halnya dengan Rayanya Kinan yang juga sangat menggemaskan.

Walau sayang sungguh sayang, kehadiran putri kami tak begitu merubah apapun, karena apa yang sudah telanjur rusak memang susah untuk diperbaiki lagi.

Dia tak memiliki minat untuk memperbaiki, sementara seberusaha apapun saya menjadi seperti apa yang dia mau, sudah tiada berguna, karena kami memang tidak pernah menjadi sebuah keluarga yang sesungguhnya.

Apalagi mood saya turun drastis pasca bersalin.

Bagaimana tidak?!

Seorang Annisa Tang yang sebelum menikah memiliki tampang dan tubuh yang cukup menarik, mendadak bertubuh tambur, kurang tidur, tidak punya teman, dan tidak ada seorang anggota keluarga pun yang saya rasa saat itu dapat saya andalkan, atau paling tidak bisa memberi dukungan emosional pada diri saya.

Tapi alhamdulillah meski psikologi saya merasa tertekan semasa hamil dan melahirkan, saya sangat sadar bahwa saya adalah pelindung bayi mungil dalam dekapan saya itu, sehingga tak ada dalam kamus saya yang namanya baby blues, apalagi sampai depresi.

Saat itu saya merasa bahwa saya dan sang jabang bayi adalah sama, yaitu saling membutuhkan.

Dia membutuhkan saya, dan saya pun membutuhkan dia sebagai satu-satunya orang yang pasti berharap hidup saya baik-baik saja, agar dapat merawatnya dengan baik.

Rasa benci pasti ada, namun ketika itu saya tujukan kepada semua orang terdekat saya, kecuali bayi saya.

Jangankan terhadap ayahnya anak saya, mertua saya dan keluarganya ketika itu, bahkan kepada orang tua, adik, ipar dan para ponakkan saya sendiri saja, saya sudah bak harimau yang siap menerkam.

Ibu Baru
Saat acara akikah dan tasmiyah anak sulung saya, tubuh masih tambur.
Sumber Foto: Pribadi

Akhirnya, kembali lagi terucap kata perpisahan dari bibir saya ketika anak kami baru berusia 1 tahun, dan juga merupakan bentuk protes terakhir yang menyudahi pertengkaran kami saat itu, karena setelahnya sudah tak ada kehangatan lagi yang saya rasakan di hati.

Saya merasa sudah tak perlu berbicara banyak, karena pernikahan sudah sisa sekedarnya saja, yaitu komitmen untuk tetap bersama-sama. Tidak saling berkhianat saja sudah lebih dari cukup bagi saya ketika itu.

Oleh karenanya, walau keluarga yang kami bangun tak lebih dari sebuah keluarga di atas kertas keluaran catatan sipil, saya tak pernah menolak untuk melayaninya di atas ranjang.

Ya, saya pikir, jika dia tidak dapat berubah sikap menjadi lebih menghargai saya sebagai seorang istri, paling tidak dia masih bisa memegang komitmen untuk tidak memasukkan orang ketiga ke dalam hubungan kami.

Entah begitu naifnya, ataukah begitu bodohnya diri saya ini, saya kurang mengerti dengan pasti, tetapi yang saya yakini setelah semua kejadian yang telah saya lewati itu bersamanya adalah, pribadi saya jauh lebih jujur daripada dia.

Harusnya sejak awal saya bisa berpikir bahwa tidak ada cinta yang seperti ini. Cinta saya kepadanya hilang secara bertahap dalam pernikahan kami, tapi dia mungkin malah tidak pernah mencintai saya.

Saya bahkan tidak menyangka kalau di tengah hubungan kami yang sudah laksana batu kapur di tengah laut ini, masih bisa hadir sesuatu yang hangat dalam hidup saya, yaitu anak lelaki ganteng yang lahir dari rahim saya, ketika kakaknya berusia 4 tahun.

Begitulah takdir pernikahan pertama saya tertulis, dimana kedua buah hati harus lahir terlebih dahulu untuk mengiringi langkah kaki saya, dalam rangka melanjutkan hidup dan perjuangan ke depan.

Sungguh besar kuasaNya, betapa adilnya Dia ketika menuliskan kisah perjalanan setiap hambaNya, dan bagaimana Dia telah menunjukkan bahwa rencanaNya jauh lebih indah dari apa yang bisa saya tentukan sendiri.

Seandainya saja kami berpisah sebelum kedua mutiara hidup saya hadir, entah kapan lagi baru saya akan bisa memiliki mutiara-mutiara penerang jiwa saya itu?

Single Mom
Happy Single Mom with kids.
Sumber Foto: Pribadi

Kemudian, kalau saja saya tetap melanjutkan pernikahan untuk sekedar menanamkan komitmen, mungkin sepanjang sisa hidup saya masih berada dalam kegelapan.

Lidya Danira imitasi hadir menunjukkan dirinya, bukan untuk menyeret saya ke dalam lubang penyiksaan, melainkan dia datang dan mengumumkan dirinya, untuk memberi kebebasan pada saya dalam memutuskan.

Walau awalnya dia mungkin merasa bahwa dia adalah real dari Lidya Danira, tapi jangan lupa, saya bukanlah Kinan dalam kisah nyata.

Saya tak seperti Kinan yang sempat bela-belain mengejar layangan putus walau dia tak tahu kemana arahnya pergi dan berlabuh, melainkan saya justru merasa sangat lega ketika pada akhirnya layangan itu benar-benar putus, terbang terbawa angin, lalu menjauh dari hidup saya, sehingga air mata Aris dan Lidya jatuh lebih awal juga.

Komentar

  1. Nice story sekaligus sad story mbak. Aku kenal dengan beberapa orang yang tentu lebih dulu berumah tangga dari aku. Beberapa dari mereka memiliki kisah pernikaha yang sama dengan mbak annisa. Satu atap tapi tidak satu hati. Hanya sekadar mempertahankan komitmen rumah tangga. Pasti tersiksa sekali berada di dalamnya ya mbk. Alhamdulillah mbak kuat. 😊🤗

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah Mbak ... tapi kalau dulu saya memang sudah tak seatap bertahun-tahun lamanya, karena dia tinggal dan tidur di ruko untuk alasan pekerjaan, jadi tak ada bedanya dengan ketika kami sudah berpisah kini.

      Hapus
  2. layangan putus emang bikin heboh jagat dunia nyata dan maya ya :') jadi sempet insecure

    BalasHapus

Posting Komentar