Drama Anak Pertama dan Kedua Tak Pernah Usai

Mommy Lyfe
Anak-anak saat akur.
Sumber Foto: Pribadi

Pernah suatu ketika anak sulung saya tiba-tiba berkata, "Tuh kan, memang jadi anak pertama itu tidak enak, apa-apa disuruh mengalah dengan Titi. Biar dia nakal, tapi Cici lagi yang disalahin."

Cici itu adalah sebutan untuk si sulung yang berarti kakak perempuan, sementara Titi merupakan panggilan bagi si bungsu yang berarti adik lelaki.

Biasanya orang Chinese Medan dan Jakarta yang menggunakan istilah-istilah tersebut, karena kebetulan GP (JiPi), sebutan untuk kakek mereka (papa saya), adalah orang Chinese Medan yang besar di Jakarta.

Kalau dalam bahasa Mandarin Cici itu adalah Ciecie (Jiejie) dan Titi adalah tetap Titi (Didi).

Ya begitulah kalau multi ras dan culture dalam keluarga, panggilan pun unik-unik.

Nah, sementara itu, panggilan GP adalah panggilan yang sangat umum, karena maksudnya adalah GrandPa, tetapi jarang yang disingkat seperti kami menjadi JiPi.

Begitupun dengan GM alias GrandMa yang juga kami singkat menjadi JiEm, sapaan mereka untuk mami saya.

Keluarga
Aku yang sedang mengandung si bungsu berlaku sebagai fotografer pada moment ini.
Sumber Foto: Pribadi

Anak sulung saya ini memang sangat pandai mengungkapkan bentuk ketidak-adilan yang sedang dia rasakan, sehingga sering kali membuat saya menggeleng-gelengkan kepala sembari menatapnya.

"Cici, Cici lahir dari mana?" Tanya saya kepadanya.

Dia pasti tahu arah pembicaraan saya ini, karena kalimat tersebut cukup intens saya tanyakan setiap kali kakak beradik itu sedang beradu mulut, bahkan fisik.

Kemudian sambil memanyunkan bibirnya, dia pun berkata, "Dari perut mami."

Saya kembali bertanya lagi padanya, "Lalu Titi dari mana dong lahirnya?"

Dengan wajah kesal, dia langsung menjawab, namun sembari merepet juga, "Dari perut mami! Tapi ingat ya Mami, sampai kapanpun Cici tidak akan pernah akur sama Titi!"

Selalu kalimat itu yang dia lontarkan untuk menegaskan keputusan yang berkaitan dengan adik semata wayangnya itu.

"Cici..." Tegurku perlahan, namun segera disusul dengan protesnya kembali.

"Pokoknya Cici tidak suka sama Titi! Cici tidak mau ada adik laki-laki! Begini sudah anak pertama, biar Titi yang salah tapi selalu mami bela."

Gampang-gampang susah memang menjelaskan kepada anak-anak ini bahwa kedudukan mereka di mata kedua orang tuanya pasti sama, khususnya bagi seorang ibu yang telah melahirkan mereka berdua.

Padahal, saya sering menjelaskan kepada Cicinya yang tentu sudah lebih mengerti kata-kata saya dibandingkan sang adik yang masih berusia 3 tahunan, yaitu mengenai mereka yang berasal dari rahim yang sama dan menghirup udara yang sama untuk pertama kalinya di dalam perut saya, serta mendapatkan nutrisi pertama yang sama melalui aliran darah saya.

Maksud saya, tak seharusnya mereka saling membenci, karena mereka berdua berasal dari tempat yang sama, melalui seorang wanita yang sama-sama mereka panggil 'mami' ini.

Lagipula bukan tanpa alasan kadang saya menegur anak sulung saya ini ketika keduanya sedang berantem, yaitu karena kadang memang dia yang memulainya.

Misalnya saja ketika sang adik ingin ikut melihat layar ponselnya, dia akan protes, lalu sambil mengomel dia pun menjauh dan berusaha menutup layar ponselnya.

Sementara si bungsu ini juga sensitif, dan ketika menyadari kalau kakaknya bersikap tidak baik padanya, maka dia akan terus mengganggu, seperti mendatangi kakaknya tanpa henti, lalu dengan mulut manyunnya yang ngambek dia memegang tangan kakaknya karena dia tahu bahwa sang kakak tidak suka.

Kakak pun marah, mengamuk, yang berbuntut si bungsu melayangkan pukulannya, dan kalau sudah memukul, Cici akan terus dikejarnya.

Akhirnya karena sudah tidak sabar, si Cici bisa mengarahkan tendangan mautnya kepada Titi.

Saya pun menegur si sulung, tapi bukan berarti saya tidak menyalahkan si bungsu yang suka main fisik, hanya saja memang tidak sepadan, ketika kaki panjang si sulung menendang tubuh adiknya dengan kuat.

Fiuh, padahal dulu, ketika si bungsu masih bayi, saya sering melibatkan sang kakak untuk ikut mengurus adik.

Anak Bungsu
Saya dan si bungsu sebelum pandemi melanda negeri.
Sumber Foto: pribadi

"Pokoknya tidak enak jadi anak pertama! Titi yang pukul duluan tapi Cici yang dimarahin."

Lagi-lagi drama 'anak pertama' dan 'kedua' yang dibawa-bawa olehnya.

Memang sih, bukan tanpa alasan sebenarnya.

Doktrin semacam itu begitu tertanam kuat di benaknya, karena beberapa konten kreator membuat karya video tentang itu, yaitu mengenai anak pertama yang selalu disalahkan oleh orang tuanya, sementara anak kedua yang selalu dilindungi.

Aah, agak menyesal dulu sempat mengijinkan anak sulung saya ini download aplikasi video yang dapat menerbitkan karya konten kreator dengan bebas di ponselnya.

Walau pada akhirnya saya suruh hapus karena ada beberapa konten yang saya tidak sreg kebetulan lewat di berandanya, seperti konten tentang LGBT serta gaya lelaki yang bersikap dan meniru wanita, tapi ternyata dia sudah sempat meresapi 'drama anak pertama dan anak kedua'.

Sekarang bahkan aplikasi untuk menonton video yang sangat umum pun telah dilengkapi dengan fitur short video yang membuat setiap orang juga bisa menonton karya konten kreator, mulai yang amatir hingga yang profesional. 

Si sulung pun kembali bersua dengan video mengenai si anak pertama yang menderita.

"Nah, ini dia, lihat ini mami! Pokoknya anak pertama itu ... aahhh ... nggak enak banget!"

Belum sempat perdamaian terjadi, dia yang memang masih memegang ponselnya, mendadak melihat lagi drama kesengsaraan si anak pertama yang dicuekin oleh sang ibu walau terluka parah, sementara si anak kedua yang terluka kecil malah diperlakukan secara berlebihan.

Hampir saja saya kelepasan tertawa ketika si sulung memperlihatkan video tersebut, jika saya tak menyadari bahwa masih ada misi perdamaian yang harus dilakukan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya.

Memang, kadang saya sebagai orang tua pun merasa bahwa drama mengenai anak pertama dan anak kedua itu sedikit relate sama kehidupan setiap orang, sehingga membuat hati ikut tergelitik.

Hanya saja, saya tidak boleh memperlihatkannya di depan anak-anak, ketika saya merasa bahwa itu agak nyambung dengan kehidupan nyata sehari-hari, karena malah akan memperberat tugas saya untuk menyakinkan mereka.

Yang harus saya lakukan adalah mencari cara untuk mengalahkan doktrin tak langsung yang disajikan oleh video-video pendek itu kepada anak-anak.

Sugesti positif yang konsisten mampu membuat alam bawah sadarnya membawa kerja otak ke arah yang positif juga, sehingga tak boleh bosan memberi arahan-arahan yang positif kepada anak-anak, karena meski awalnya hanya dianggap angin lalu, namun pasti ada yang sudah terekam di dalam dirinya.

Saya dulu cukup sering mempraktekkan cara ini kepada si sulung, ketika kami masih tinggal berdua saja di rumah. Kebetulan ayahnya tinggal di ruko, sementara di rumah hanya ada saya dan si sulung setiap harinya.

Tapi semenjak menjadi Single Mom, saya terpaksa harus tinggal bersama kedua orang tua lagi, sehingga menjadi lebih kesulitan dalam mengasuh si bungsu, karena sejak balita si bungsu sudah mendapat pengaruh dari luar, selain saya.

Ada orang tua saya, dan juga ada para ponakkan saya yang sudah terbiasa main fisik. Si bungsu jadi ikut suka memukul, berbeda dengan kakaknya dahulu ketika sang kakak masih balita juga.

Mungkin ini satu-satunya penyesalan saya setelah menjadi Single Mom, yaitu saya tidak bisa pure memberikan kedua anak saya kepengasuhan total dari saya sendiri lagi, karena harus kembali tinggal bersama orang tua.

Tapi tetap semangat!

Mari kita coba akhiri drama anak pertama dan kedua yang meresahkan ini dengan cara memberi doktrin positif kepada mereka.


Komentar