Ilustrasi keluarga bahagia. Sumber Foto: Desain Pribadi melalui Canva |
Ketika membaca berita mengenai seorang ibu yang menelantarkan bayinya, seperti meninggalkannya di semak-semak, di tepi jalan, bahkan di tong sampah, dalam keadaan si bayi masih bernyawa ataupun tidak, sering sekali saya membaca komentar dari beberapa orang, "coba bayinya dikasihkan ke saya saja".
Memang komentar itu cukup beralasan. Sebaiknya bayi yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, tetap diperlakukan secara manusiawi, seperti mencarikan orang tua lain yang bersedia merawat dan menjaganya, bukan malah dibuang layaknya sebuah barang yang sudah usang.
Hati ibu mana juga yang tega saat melihat berita yang memilukan semacam itu.
Begitupun dengan saya ketika membaca berita online mengenai kejadian yang baru saja beberapa bulan lalu terjadi di Kota Balikpapan itu, dan kebetulan lokasinya tidak begitu jauh dari tempat tinggal saya.
Seorang bayi ditemukan meninggal dunia masih dengan tali pusar dan tembuninya, terbungkus oleh plastik di dalam kotak kardus, lalu teronggok begitu saja di tempat sampah.
Seorang pemulung yang menemukan bayi itu, merasa sangat terkejut, karena sebelumnya ia mengira bahwa yang dipegangnya tersebut hanyalah sebuah boneka.
Tali pusar dan tembuni yang menyertai jasad sang bayi, langsung seketika mengejutkannya.
Sebagai seorang ibu, tentu saja saya pun merasa sangat pilu dengan adanya berita itu.
Tapi, sungguhkah semudah sebuah kalimat komentar, ketika kita memutuskan untuk memelihara anak orang lain? Ataukah itu hanyalah komentar basa-basi belaka?
Bagaimana jika di depan rumah kita, benar-benar ada seorang bayi yang ditinggalkan oleh seseorang dan tidak kita ketahui dari mana mereka berasal?
Akankah kita begitu saja mengakuinya sebagai anak sendiri? Yakinkah kita bisa berlaku seyogyanya dia adalah darah daging kita sendiri?
Nah, pada lain peristiwa, seorang ibu menuliskan sebuah cerita tentang dia dan anaknya di salah satu grup sosial media, guna meminta belas kasihan para netizen, untuk membantunya dalam memenuhi kebutuhan sang anak yang kala itu masih berusia balita.
Lagi-lagi komentar miris terbaca oleh saya, "bolehkah anaknya diberikan pada saya saja?"
"Bolehkah saya yang mengadopsi anaknya?"
"Biar saya saja yang rawat, kebetulan saya belum punya anak."
Padahal sang ibu terpaksa 'mengemis online', karena dia ingin bersama anaknya, tapi terhalang biaya.
Lalu mengapa orang lain bisa tega mengucapkan kalimat-kalimat tanya seperti itu kepadanya?
Membantu seorang anak kan tidak harus dengan memiliki.
Kalau memang ingin membantu, maka beri bantuan itu tanpa syarat. Jangan membantu, karena sudah menjadi hak milik saja.
Karena mengasuh seorang anak itu tidak seperti merawat seekor 'anabul' yang hanya butuh makan, minum, dan kesenangan batin saja.
Kebutuhan seorang anak yang harus dipenuhi. Sumber Foto: Desain Pribadi melalui Canva |
Selain makanan dan tempat tinggal, anak-anak butuh pakaian, pendidikan, serta butuh dibawa saat kedua orang tuanya pergi berlibur keluar kota, apalagi keluar negeri, sementara 'anabul' tinggal dititipkan di 'pet hotel' saja ketika majikannya sedang bepergian.
Dan seorang anak itu, tidak seperti hewan yang tak mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan kita.
Mereka ada kemungkinan kelak untuk protes, bisa melawan, mengeluarkan kalimat-kalimat menyakitkan, membantah, melakukan kebohongan, berbuat kesalahan lainnya, membuat malu keluarga, dan sebagainya.
Kadang sebagian besar orang tua saja, kepada anak-anak kandungnya sendiri saja, bisa sangat tidak sabar dan emosi, lalu bagaimana jika ia tahu bahwa yang membantahnya adalah anak orang lain yang dia asuh dari kecil.
Tentu masih kita ingat dengan jelas kasus si kecil Angeline dari Bali yang sempat viral beberapa waktu lalu.
Dia diadopsi dari bayi oleh orang tua angkatnya, dengan berbekal surat perjanjian saja yang menyatakan bahwa Margriette, si ibu angkat, akan menyayangi anak itu seperti anak kandung sendiri, bersama suaminya.
Namun kenyataannya, setelah sang suami meninggal, sebagai orang tua tunggal, sikap Margriette berubah kepada Angeline.
Dia kerap kali melakukan tindak penyiksaan dan tidak merawat anak itu dengan baik, hingga pada akhirnya Angeline yang malang pun meregang nyawa di tangannya.
Jadi sebelum memutuskan untuk mengadopsi seorang anak, banyak sekali hal yang harus para calon orang tua renungkan.
Apa Tujuannya Mengadopsi Anak?
Karena Lucu
Siapa sih yang tidak suka melihat bayi mungil, imut, dan lucu itu?
Dimana ketika dia tersenyum, kita bisa ikut tersenyum. Ketika dia tertawa renyah, hati pun ikut renyah dibuatnya.
Tapi apakah mengadopsi bayi sebatas karena dia lucu dan bisa menghibur si ibu angkat di kala senggang saja?
Bagaimana kalau dia sedang tidak lucu atau kelak tak lucu lagi?
Dia sedang tidak lucu, misalnya ketika rewel, pipis dan poop di malam hari, malam-malam minta susu, dan sebagainya.
Dia kelak tak lucu lagi misalnya saja saat dia sudah beranjak besar dan mulai suka membantah.
Apa sudah siap akan itu?
Okey-lah kalau dikatakan bahwa seorang ibu yang melahirkan bayinya sendiri pun sama saja, siap tak siap dia toh tetap punya bayi.
Jangan disamakan ya? Karena bagi sebagian ibu, merasa repot dengan anak sendiri tak masalah, tapi kalau anaknya orang lain?
Misalnya saja Angeline yang dari Bali itu tadi.
Bukankah Margriette juga memiliki anak-anak sendiri yang berusia sudah dewasa? Buktinya mereka bisa saja tumbuh dewasa dengan baik dan sehat.
Lalu mengapa Angeline bisa berakhir sangat tragis di tangannya, pada saat gadis kecil itu masih berusia 8 tahun?
Untuk Memancing
Nah, alasan yang satu ini sering sekali digunakan oleh sebagian pasangan suami - istri yang belum dikaruniai anak.
Tujuan 'memancing' melalui mengadopsi anak ini bukanlah hal yang tepat.
Bagaimana kelak jika pasangan ini telah dikaruniai anaknya sendiri? Apakah ia akan tetap menyayangi si anak angkat sesuai janjinya di awal?
Kemudian bagaimana jika kelak dia tidak diberikan juga keturunan, padahal sudah lama dia mengasuh anak orang lain? Tidakkah kelak pasangan ini akan melampiaskan emosinya pada si anak yang tak bersalah itu?
Untuk Merawat Masa Tua
Sebagian orang lagi yang pernah saya tahu, mengatakan bahwa dia ingin mengadopsi seorang anak perempuan hanya untuk merawatnya di masa tua kelak.
Karena sebagai orang tua kandung, mereka tidak ingin membebankan masa jompo mereka kepada anak-anak kandungnya.
Anak-anak kandungnya harus menuntut ilmu dan mengejar impiannya, sementara mereka takut di masa tua tak ada yang mengurus, oleh karenanya mereka pun memutuskan untuk mengadopsi anak.
Sungguh miris ya mendengarnya, padahal seharusnya anak-anak diperlakukan sama satu dengan yang lainnya.
Tetapi justru tujuan awal mengadopsi anak saja sudah tidak tepat.
Yang harus disadari adalah bahwa seorang anak manusia, tidak akan selalu patuh akan keinginan orang tuanya.
Mereka bisa marah dan memberontak kelak jika mengetahui diperlakukan tidak adil.
Karena Ingin Mempertahankan Pernikahan
Setiap pasangan suami istri, tak pernah tahu sampai dimana jodoh mereka kelak.
Ketika mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak karena ingin sekedar mempertahankan pernikahan, maka alasan tersebut tentulah tidak tepat.
Misalnya saja, si istri yang dinyatakan tidak dapat hamil, mengadopsi anak hanya demi menyenangkan suaminya, agar sang suami tidak menceraikannya.
Atau malah sebaliknya. Tapi agak jarang sih kalau istri meninggalkan suami karena suaminya 'mandul'. Berbeda halnya jika istri yang mengalami itu.
Bagaimana ya kelak nasib anak adopsi itu jika ternyata jodoh antar pasangan suami istri tersebut tidak berlanjut lagi, misalnya saja karena maut ataupun karena orang ketiga?
Membawa Keberuntungan
Walau langka, namun ada pula beberapa keluarga yang mempercayai mengenai keberuntungan seorang bayi, sehingga memutuskan untuk mengadopsi bayi, agar dapat membawa keberuntungan bagi keluarga.
Seorang bayi dianggap dapat membawa keberuntungan berdasarkan hari kelahiran mereka, bulan kelahiran, tahun kelahiran, dan sebagainya.
Ada orang-orang tertentu yang percaya akan itu. Tapi bagaimana kelak jika ternyata 'bayi pembawa keberuntungan' itu tidak sesuai dengan harapannya.
Setelah si bayi masuk menjadi anggota keluarga, justru orang tua angkatnya mengalami kebangkrutan dan kemiskinan?
Apa si bayi tadi kelak tidak bakal menjadi sasaran samsak tinju si orang tua angkat yang merasa kesal?
Mencarikan Teman Si Anak Tunggal
Nah, beberapa orang tua lagi mengadopsi anak karena hanya memiliki seorang anak.
Alasannya adalah 'kasihan si kakak kesepian', maka diputuskanlah mengadopsi seorang bayi untuk menjadi teman si anak sulung, sekaligus menjadi pelengkap keluarga.
Misalkan si kakak adalah perempuan, maka diadopsilah adik lelaki. Sementara jika si kakak merupakan anak lelaki, maka diadopsilah adik perempuan.
Sedangkan hubungan antara kakak beradik kandung saja bisa berantakan, baik ketika mereka masih kecil, ataupun saat mereka sudah dewasa.
Di sini saya tidak mengkaji dari segi Islami, melainkan dari sisi realistis kehidupan saja.
Kalau dari segi Islami, jangankan antar saudara angkat yang berbeda gender, dengan ibu dan bapak angkatnya saja sudah merupakan bukan mahram.
Tapi kan saya bukan ahli agama, saya hanya ingin menyampaikan dari segi pengamatan dan opini saya saja.
Karena Ingin Memiliki Anak
Dari semua alasan, mungkin ini adalah yang paling relevan, dimana tujuan setiap pasangan yang ingin mengadopsi anak tentulah karena mereka ingin memiliki anak.
Misalnya saja, salah satunya atau malah keduanya divonis tidak dapat memiliki momongan lagi, maka mereka pun akan mengambil jalan tengah untuk mengadopsi anak.
Istilahnya mereka memang menginginkan itu, atas kesepakatan bersama, untuk mencintai anak orang lain selayaknya anak sendiri, bukan sekedar untuk mempertahankan pernikahan belaka.
Tapi tetap perlu ditanyakan pada diri sendiri, sudah siapkah untuk itu? Sudah siapkah mengadopsi anak orang lain?
Bagaimana kelak jika ibu si bayi menginginkan anaknya kembali? Atau masalah-masalah yang akan timbul lainnya, misalkan saja si anak membuat masalah dengan dalih bahwa dia hanyalah anak angkat.
Kisah Si Adik
Bukan tanpa alasan saya menuliskan mengenai hal ini, karena saya adalah seorang kakak dari adik lelaki yang kami adopsi ketika dia masih merupakan bayi merah puluhan tahun yang lalu.
My Mom, Bro, and Me. Sumber Foto: Pribadi |
Sayangnya bayi itu meninggal karena adanya penyebaran virus di rumah sakit, saat usianya baru saja menginjak 15 hari.
Kebetulan mami saya cuma bisa melahirkan bayinya melalui operasi caesar karena kelainan tulang panggul, sehingga hanya dapat dilakukan sebanyak dua kali pada jaman itu.
Caesar pada jaman 'baheula' kan berbeda sekali dengan saat ini.
Kalau sekarang bisa sampai 4 kali melahirkan caesar (bahkan ada yang sampai 5 kali), karena operasinya dilakukan secara horizontal, tidak sama dengan masa lampau dimana operasinya dilakukan secara vertikal.
Jadi setelah melahirkan saya, mami pun tidak boleh hamil lagi karena dapat berbahaya bagi keselamatannya.
Oleh sebab itu, sejak jauh hari mami sudah berpesan kepada kepada seorang bidan di salah satu klinik.
Bidan tersebut memang terkenal sering menangani persalinan ibu-ibu yang tidak menginginkan bayinya.
Sampai hari itu pun tiba. Ketika saya masih berusia 7 tahun, bidan tersebut mengabari bahwa ada seorang ibu dan bayi lelaki, dimana ibu tersebut sudah memiliki 4 orang anak sebelumnya, dan ia tidak menginginkan bayi itu karena kesulitan ekonomi.
Wanita yang baru saja melahirkan itu hanya meminta agar biaya persalinannya ditanggung oleh kami, tapi tanpa mau menemui kami secara langsung.
Kami mengetahui wajahnya melalui foto, karena bidan tetap memberikan selembar foto sang ibu kepada kami, buat berjaga jika kelak anaknya bertanya mengenai ibu kandungnya.
Ibu si bayi adalah wanita yang terlihat tinggi semampai dan berkulit hitam namun berparas cantik, sehingga bayi itu pun juga berbeda warna kulit dengan kami, karena dia berkulit gelap, sedangkan kami sekeluarga berkulit cerah.
Tidak jarang ketika kami sedang pergi ke restoran sekeluarga, terdengar kasak-kusuk di belakang kami. Malah kadang sepertinya ada yang mengira bahwa itu adalah anak hasil perselingkuhan mami saya dengan orang lain.
Jaman dahulu dan jaman sekarang kan tidak ada bedanya kalau masalah ghibah, hehehe.
Walau hanya sekedar ghibah, tetapi saya yakin adik saya saat itu pasti bisa merasakannya juga melalui tatapan mata orang-orang yang melihat kedatangan kami sekeluarga.
Oleh karena itulah, kami terus mengatakan bahwa warna kulitnya sama dengan warna kulit sang kakek. Kebetulan ayahnya mami saya berkulit gelap juga karena berprofesi sebagai polisi (sering berjemur).
Namun sejauh mana kami bisa berbohong, ketika pada akhirnya dia yang sudah berusia sekolah dasar, bertanya juga kepada kami, "Anak pungut itu apa sih?"
Kami terkejut sekali mendengar pertanyaannya, tetapi mami saya masih 'mengeles' dengan mengatakan bahwa "tidak ada yang namanya anak pungut, hanya makanan atau benda jatuh yang bisa dipungut".
Rupanya ada seseorang yang berusaha menyampaikan padanya mengenai hal itu.
Setelahnya, walau dia tidak pernah bertanya lagi, tapi pasti sudah ada perasaan mengganjal di hati.
Sampai suatu saat ketika dia sudah berusia remaja, mami saya mendengar ceramah mengenai parenting dimana membahas mengenai 'anak adopsi'.
Sang psikolog mengatakan bahwa sebaiknya anak yang diadopsi tahu kalau dia memang bukanlah anak kandung, sehingga dengan minimnya pengetahuan orang tua jaman dahulu tentang pola pikir anak, membuat mami saya langsung mencoba jujur kepada adik saya itu di usia labilnya.
Respon si adik pun sungguh di luar dugaan semua orang saat itu, karena dia merasa telah dibohongi oleh semuanya.
Dia membuat masalah, menyebabkan berulang kali mami saya dipanggil ke sekolah, lalu minggat dari rumah, bergabung dengan anak punk, sampai membuat kedua orang tua kami mencarinya keliling kota sambil menangis.
Ketika orang tua kami menemukan dia di pinggir jalan bersama teman-temannya, dia sudah tampil dengan rambut mohawk-nya yang diwarnai hijau. Nyaris saja mami saya pingsan dibuatnya.
Kemudian dia membuat masalah kembali dengan minta dicarikan ibu kandungnya, karena katanya dia mau tanya sendiri mengapa dulu si ibu meninggalkan dia.
Orang tua saya pun berusaha mencari informasi tentang ibunya itu ke seluruh kota.
Tapi sayang sungguh sayang, ketika kami sudah mendapatkan informasi mengenai si ibu, beliau justru menolak untuk bertemu anak kandungnya sendiri, sehingga adik saya langsung tahu bahwa dia memang sama sekali tak diinginkan oleh sang ibu.
Akhirnya keinginannya juga tak bisa ditolak lagi sama sekali oleh orang tua kami, karena dia selalu memaksa melalui sebuah kalimat "karena saya hanyalah anak angkat", walau dia tahu ketika dia kecil dan keuangan keluarga masih stabil, apapun permintaannya tak pernah tidak dituruti.
Dia memaksa minta dibelikan sebuah sepeda motor, karena saya dibelikan sepeda motor untuk pergi training saat kuliah di luar kota.
Bahkan dia tidak menerima kata 'besok', harus hari itu juga dibelikan, padahal papa saya masih berada di luar kota untuk bekerja.
Mami saya pun terpaksa menemaninya mencari sebuah sepeda motor di dealer.
Akhirnya mulai banyak masalah yang dia buat dari remaja hingga sudah usia dewasa kini, seperti tabrakan antar teman karena balap-balapan liar yang menyebabkan kakinya mendapatkan beberapa jahitan dan kawannya mendapat beberapa jahitan pula di kepala, sampai beralasan untuk tidak bersekolah lagi.
Ketika dia sudah duduk di kelas 2 STM, dia tiba-tiba mengaku malu akibat diolok-olok oleh kawan-kawannya di sekolah, setelah belakangan dia memang kami ketahui mengalami buta warna parsial.
Katanya setiap dia salah menyebutkan nama warna pada kabel, teman-temannya langsung tertawa beramai-ramai.
Setelah berhenti sekolah, kerjaannya hanya tidur di rumah, berkumpul dan pergi jalan dengan komunitas punk-nya, sehingga dia harus dipaksa terlebih dahulu untuk ikut kejar paket C (setara SMA) agar masa depannya sedikit lebih baik.
Dengan berbekal ijazah SMA, paling tidak dia bisa mencari pekerjaan.
Namun ternyata, sungguh di luar ekspektasi. Setelah mendapatkan sertifikat kesetaraan, dia justru menattoo tubuhnya sedikit demi sedikit.
Setiap habis ditattoo, mami saya pasti memohon untuknya agar dia cukupkan sampai di situ. Tapi alih-alih mendengarkan, setiap habis dinasehati dia justru menambah tattoo di tubuhnya lagi, sehingga mami saya memutuskan untuk 'menutup mata' saja.
Lalu dengan kebisaannya menggambar tattoo juga, dia meminta kedua orang tua saya untuk memodalinya membuka studio tattoo, tapi tidak jalan dengan lancar juga, karena ternyata hanya sekedar hobby baginya, tidak sepenuhnya dijadikan ladang bisnis.
Pada akhirnya dia malah mendatangkan seorang wanita dan bayi ke keluarga kami di usianya yang masih sangat belia, sehingga dia pun menjalankan pernikahaan dini.
Saat itu saya malah masih sibuk bekerja dan mencoba berkarya dengan apapun keahlian yang saya miliki.
Padahal, bukan hanya studio tattoo, orang tua saya sudah sangat berusaha untuknya, ketika keuangan keluarga kami mulai stabil kembali.
Adik saya dibukakan usaha mulai toko klontong di depan rumah, hingga sewa ruko untuk membuka sebuah rumah makan, sayangnya gulung tikar semua.
Dia bercerai dari istrinya setelah memiliki dua orang anak, dan tak ada satupun dari mereka berdua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Jadilah mami saya seperti memiliki dua orang bayi lagi, berusia jalan 2 tahun (laki-laki) dan jalan 1 tahun (perempuan) di usianya yang sudah senja.
Usia kedua anak itu hanya selisih 1 tahun karena saat anak pertamanya masih berusia 3 bulan, si ibu sudah hamil lagi.
Saya pun rela tidak kembali ke tempat kerja karena tidak ingin membebankan kedua orang tua saya dengan anak-anak lagi, sementara saya tidak dapat juga mempercayakan anak-anak saya kepada orang lain, seperti baby sitter ataupun daycare.
Walau saya juga sempat sangat marah kepada semua orang, karena ketika saya masih hamil anak pertama dahulu, saya merasa tak ada satu pun orang yang bisa saya andalkan.
Seorang suami yang tak berguna bagi kesehatan mental istrinya, dan seorang mami yang disibukkan dengan dua orang cucunya itu, tak bisa menunggui saya yang sedang opname di rumah sakit karena pendarahan akibat placenta previa, sehingga saya terpaksa menggunakan adult diapers.
Bagaimana jika dulu adik saya mendapatkan orang tua angkat yang tidak dapat memaklumi sikapnya itu?
Bahkan saya sendiri pun tak dapat maklum atas itu, saya sudah terlalu 'mumet' dengan segala permasalahan hidup saya, sehingga kini saya juga memutuskan menjauh dari si adik yang bagi saya adalah trouble maker itu.
Tips Mengadopsi Anak
Berbagi pengalaman, bukan berarti mengajak trauma beramai-ramai untuk mengadopsi anak.
Walau kebetulan nenek saya pun punya trauma dan cerita sendiri juga mengenai anak adopsi yang ketika dewasa durhaka kepada orang tua angkatnya dan menjadi jahat.
Tapi banyak juga kok dari kalangan teman-teman saya yang orang tuanya mengadopsi anak dan anak itu baik-baik saja dari kecil hingga dewasa.
Ilustrasi Ibu dan Anak Adopsi. Sumber Foto: Desain Pribadi melalui Canva |
Di sini, saya hanya ingin berbagi beberapa tips pada teman-teman yang ingin mengadopsi anak, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya saja, yaitu antara lain:
- Alasan yang kuat
- Ketahuilah orang tua si anak
- Adopsi anak yang seagama
- Satu ras lebih baik
- Lalui jalur yang benar
- Kondisikan psikis anak sedari kecil
- Bedakan pola asuhnya
- Beri pemahaman agama yang baik
Mbak Annisa, Salam kenal ya. Terima kasih telah berbagi pengalaman mengenai anak adopsi.
BalasHapusAda temanku yg diadopsi dari bayi. Waktu remaja sempat berprilaku negatif, haduuuh bikin mengelus dada. Aku sendiri kaget, mungkin karena dia tahu bahwa ia anak angkat walau keluarga angkatnya baik banget.
Alhamdulillah sekarang ia jauh lebih baik apalagi sudah menikah.
Sangat disayangkan respon adik angkatmu seperti itu. Jadi pembelajaran untuk berpikir ulang, berpikir lebih jauh sebelum mengadopsi anak.
Betul sekali, Ibu, banyak hal yang harus dipikirkan sebelum mengadopsi anak, karena anak-anak bukanlah hewan peliharaan yang habis dikasih makan dan dielus-elus bisa nurut begitu saja. Dan kalau kita tidak suka tinggal dibuang begitu saja. Anak-anak adalah manusia biasa yang punya ragam emosi, sifat, dan sikap yang dapat mempengaruhi keadaan sekitarnya juga, serta harus siap terikat selamanya dengan si anak, dan keluarga angkat hendaknya tahu konsekuensi atas itu, ketika memutuskan untuk mengadopsi anak. Jadi mengadopsi anak, tidak cukup dengan kalimat "kasihan anak itu, kasihkan ke aku saja", karena suatu saat si anak bisa terlihat tidak lucu dan tidak memprihatinkan lagi di mata orang tua angkatnya. T_T
Hapus